Bagi pemerintah kolonial, Imam Bonjol bukanlah lawan yang mudah. Apalagi ketika terjadi Perang Jawa alias Perang Diponegoro pada 1825 hingga 1830. Perhatian mereka pun teralihkan ke Jawa. Baru setelah tertangkapnya Pangeran Diponegoro, pada Maret 1830, pemerintah kolonial fokus terhadap Imam Bonjol.
Beberapa veteran Perang Jawa pun dilibatkan dalam penaklukan orang-orang Padri di Sumatera Barat itu. Termasuk bekas panglima Diponegoro: Sentot Ali Basah dan pasukannya. Tak tanggung-tanggung, Jenderal Mayor Frans David Cochius—komandan tentara Kerajaan di Hindia Belanda—turun langsung ke Sumatera Barat pada 12 April 1837. Tentu saja mereka datang bersama balatentara, peralatan tempur, dan logistiknya.
Penggebuk Imam Bonjol
Pemerintah Belanda setidaknya telah mengerahkan pasukan-pasukan dari Tentara Kerajaan di Hindia Belanda yang belakangan dalam sejarah dikenal sebagai Koninklijke Nederlandsch Indische Leger (KNIL). Pasukan yang kebanyakan serdadu-serdadu bawahannya adalah orang-orang dari berbagai suku di Indonesia.
Tentara kolonial itu banyak dikerahkan untuk menghadapi perlawanan rakyat di Indonesia. Termasuk di Sumatera Barat, yang salah satu pemimpinnya adalah Imam Bonjol. Perang yang oleh pihak Belanda disebut Perang Padri ini terbagi dalam tiga fase. Yang dihadapi Cochius dan rekan-rekannya adalah fase ketiga.
- Baca: Mekah yang Memantik Perang Padri
“Sudah tiga bulan lamanya Jenderal Cochius memimpin peperangan dengan segenap tenaganya, tiada juga bertambah baik kedudukan tentaranya,” tulis Dawis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki dalam Tuanku Imam Bondjol: Perintis Djalan Ke Kemerdekaan (1951).
Namun, petinggi-petinggi Tentara Belanda itu, “tiadalah mengetahui bahwa di Bonjol (daerahnya Imam Bonjol) sendiripun selalu bertambah genting dan berbahaya pula […] Rumah-rumah dan masjid Tuanku Imam Bonjol habis ditembaki musuh dengan meriam dan periuk api (bom pembakar), sehingga menjadi abu semuanya. Melihat perbuatan tentara Belanda yang demikian, yaitu masjid pun mereka tembaki, bertambah mendidihlah darah rakyat dan mau berperang sampai mati.”
Pada bulan Juli 1837 itu pula, jabatan Komandan Tentara di Sumatera Barat pun berpindah dari Letnan Kolonel Cleerens ke tangan Letnan Kolonel Andries Victor Michiels. Nama yang disebut terakhir baru datang dari Jawa. Cleerens, Cochius, dan Michiels adalah veteran Perang Jawa.
Michiels “memutuskan sendiri untuk meneruskan perang dan menjelang Agustus 1837 memuncak sampai pendudukan Benteng Paderi yang terakhir, yaitu Bonjol..” tulis Elizabeth Graves, Asal Usul Elite Minangkabau Modern (2007).
“Suatu malam kira-kira pukul tiga, sedang orang kampung nyenyak tidur, datanglah satu pasukan Tentara Belanda dengan diam-diam ke dalam benteng Bonjol,” kata buku Tuanku Imam Bondjol: Perintis Djalan Ke Kemerdekaan. Anak dan istri Imam Bonjol hendak dihampiri serdadu-serdadu itu. Belum sempat jadi tawanan, Mahmud, salah seorang anak melawan dan yang lain akhirnya terluka. Jeritannya pun membangunkan Imam Bonjol yang sebelum terlelap.
Sang imam mengambil pedang lalu ia bersama Umar Ali, anaknya yang lain, berlari menuju tempat anak dan istrinya yang diganggu. Serdadu-serdadu Belanda menyambut Imam Bonjol dan Umar Ali dengan tambakan senapan. Sebuah pelor mengenai rusuk Umar Ali. Selanjutnya, Imam Bonjol bertempur layaknya orang mengamuk dengan pedangnya.
Dalam kepungan serdadu-serdadu itu, dia kena tusuk bayonet. Pertempuran itu terhenti, serdadu-serdadu Belanda menghilang, Imam Bonjol lalu diamankan pengikutnya. “Ada 13 luka pada badan beliau dan banyak mengeluarkan darah,” tulis buku Tuanku Imam Bondjol: Perintis Djalan Ke Kemerdekaan itu.
Esok paginya, sekitar pukul lima, serdadu-serdadu Belanda muncul lagi dan disambut orang-orang kampung hingga pecah pertempuran. “Perempuan-perempuan turun mempermainkan senjata untuk mengusir musuh itu.” Pertempuran terjadi hingga pukul dua belas siang, ketika serdadu-serdadu Belanda itu kemudian kabur lagi ke luar benteng pengikut Imam Bonjol itu.
Benteng itu kemudian dikepung pasukan Belanda di bawah komando Michiels selama berhari-hari. Keunggulan Belanda dalam hal senjata api dan pasukan yang lebih terlatih ketimbang orang-orang kampung tentu membuat Belanda lebih unggul. Tak heran jika banyak korban di pihak Imam Bonjol. Benteng itu benar-benar dikuasai pada 16 Agustus 1837.
Namun, Tuanku Imam Bonjol tak mereka temukan karena ia sudah lari. Baru pada 28 Oktober 1837 Imam Bonjol dalam ditahan oleh pemerintah kolonial. Setelah dibuang ke Cianjur, Imam Bonjol dibuang ke Sulawesi hingga meninggal dunia pada 8 November 1864.
Setelah Imam Bonjol dibuang, Michiels naik pangkat menjadi kolonel pada 3 Oktober 1837. Dia jelas berjasa dalam melumpuhkan Tuanku Imam Bonjol. Selain itu, dia berjasa dalam penguasaan Tigabelas Kota, Baros, Tapos dan Singkel, dan Patipuh. Sempat juga dia menjadi pejabat kepala daerah semacam residen dan gubernur di Pantai Barat Sumatera, setelah 1838.
Menurut Elizabeth Graves, dia sangat berlaku hati-hati terhadap petani, “dengan mengurangi tekanan terhadap petani setempat.” Namun, dia juga ikut mengusulkan tanam paksa kopi dan penyerahan wajib hasil panen secara langsung, tanpa melalui pedagang kecil yang dianggapnya parasit. Di dalam posisi itu setidaknya hingga 1847.
Di masa pemerintahan sipilnya di Sumatera Barat itu, dia pernah bentrok dengan pegawai rendahan Belanda yang belakangan sohor karena novel monumental Max Havelaar: Eduard Douwes Dekker. Menurut Basyral Hamidy Harahap dalam Greget Tuanku Rao (2007), Michiels bahkan memecat penulis itu.